Awal Mula Bisnis
Lahir di Medan pada tahun 1949, Sukanto Tanoto mengawali perjalanan bisnisnya ketika dia harus mengambilalih tanggung jawab dalam menjalankan bisnis suplai suku cadang milik keluarga karena ayahnya yang sakit
Sebagai anak tertua dengan enam orang adik yang menjadi tanggung jawabnya, Sukanto Tanoto menyadari begitu besarnya tanggung jawab yang ada dipundaknya.
Dengan ketekunan dan kegigihannya, Sukanto Tanoto secara perlahan mulai mampu mendiversikan bisnisnya, dengan mendapatkan kontrak membangun jaringan pipa untuk perusahaan minyak dan gas nasional, Pertamina. Saat krisis minyak terjadi pada tahun 1979, Sukanto Tanoto memanfaatkan keuntungan yang didapatkan dari kenaikan harga minyak untuk memperluas usahanya.
Sebuah Keputusan Penting
Pada awal tahun 1970, saat berkunjung ke Taiwan, Sukanto Tanoto mendapatkan peluang baru di bisnis kayu lapis. Saat itu, Indonesia mengekspor kayu mentah dalam bentuk log yang kemudian diolah menjadi kayu lapis di Jepang atau Taiwan, sebelum dijual kembali ke Indonesia dengan harga tinggi. Sukanto Tanoto melihat hal ini sebagai sebuah peluang dan memutuskan membangun pabrik kayu lapis di Indonesia.
Sukanto Tanoto berhasil mengatasi skeptisisme dan rintangan awal, bahkan meski sempat terjebak dalam keyakinannya mendapatkan izin yang diperlukan. Keberhasilan bisnis kayu lapis, membuktikan ketajaman visi yang dimiliki Sukanto Tanoto. Salah satu bukti keberhasilannya adalah kunjungan Bapak Presiden bersama tujuh menterinya ke pabrik milik Sukanto. Kunjungan tersebut merupakan salah satu bagian dari peringatan kemerdekan RI ke-30 tahun.
Menanam Benih Industri Kelapa Sawit di Indonesia
Dalam perjalanan ke Malaysia pada pertengahan tahun 1970, Sukanto Tanoto terinspirasi keberhasilan industri minyak kelapa sawit di Malaysia. Saat itu, Sukanto berpikir bahwa Indonesia memiliki lebih banyak keunggulan kompetitif untuk bisa bersaing di industri kelapa sawit.
“Saya melihat Sime Darby, Guthrie dan perusahaan kelapa sawit asal Inggris yang berhasil. Lalu, saya menyadarai tanah di Indonesia lebih murah, tenaga kerja juga murah dan punya pasar 10 kali lebih besar dari Malaysia. Saya berpikir, mengapa tidak mencoba minyak kelapa sawit,” kena Sukanto Tanoto.
Rasa skeptis dan keraguan sempat menghalangi ide ini karena bisnis ini membutuhkan waktu hingga lima tahun sebelum merasakan keuntungan pertama. Sekali lagi, Sukanto Tanoto tetap yakin dan menjalankan bisnis ini bahkan dengan menanam benih untuk jangka lebih panjang. Dan hasilnya, dia berhasil membuktikan bahwa kritik yang diberikan padanya, adalah keliru.
Berdirinya bisnis minyak kelapa sawit milik Sukanto Tanoto pada tahun 1979, secara kebetulan bersamaan dengan program transmigrasi pemerintah Indonesia. Program ini merupakan upaya pemerataan penduduk dari pulau Jawa yang padat penduduk ke pulau Sumatera untuk memberikan kesempatan hidup yang lebih baik.
Industri kelapa sawit Sukanto Tanoto menjadi yang pertama mengadopsi program skema petani plasma program pemerintah. Dalam skema ini perusahaan memberikan bantuan pada petani untuk mengelola perkebunan mereka dan mengelolanya secara berkelanjutan.
Berjalan dengan waktu, permintaan kelapa sawit terus meningkat dari dalam dan luar negeri. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi penghasil sekaligus konsumen terbesar di dunia.
Ekspansi ke Sektor Properti Komersial
Di tengah kesuksesan bisnis kelapa sawitnya, Sukanto Tanoto memiliki visi untuk mengembangkan sektor properti. Terinspirasi dari melihat pertumbuhan pusat perbelanjaan di sepanjang Orchard Road, Singapura, Sukanto Tanoto ingin konsumen di kota kelahirannya, merasakan kenyamanan dan kemudahan dalam berbelanja.
Tahun 1987 pembangunan Thamrin Plaza di Medan dimulai, dan menjadi salah satu proyek properti pertama Sukanto Tanoto. Pusat perbelanjaan tersebut mulai dibuka pada tahun 1989 dan terus menjadi salah satu kunci pertumbuhan ritel di Medan.
Pembangunan Thamrin Plaza juga diikuti dengan pembangunan Uni Plaza, sebuah komplek perkantoran 8 lantai dengan ruang serba guna yang luas. Sebagai bagian dari visi Sukanto Tanoto, Uni Plaza dibangun dengan infrastruktur untuk menunjang bursa perdagangan saham di Medan, yang pada saat itu di dominasi oleh bangunan pertokoan dan kantor kecil.
Uni Plaza menjadi simbol kesuksesan dan tajamnya visi Sukanto Tanoto sehingga membuat bank-bank besar tidak segan untuk memberikan pinjaman untuk proyek-proyeknya termasuk proyek bisnis pulp and paper.
Menanam untuk Kertas
Ketajaman pengamatan serta keberanian yang menuntun Sukanto Tanoto masuk ke bisnis Kelapa Sawit, membawanya masuk dan memulai usahanya di sektor pulp & paper.
Dalam kunjungannya ke Finlandia, Sukanto Tanoto mendapati fakta bahwa mereka butuh 60 tahun untuk menumbuhkan pohon sebagai bahan baku, dan masih kompetitif. Di Indonesia, dengan pohon yang sama hanya membutuhkan lima tahun untuk bisa mencapai kualitas yang sama karena iklim tropis dan kondisi tanah yang lebih baik.
Pada tahun 1993, Sukanto Tanoto memulai pembangunan pabrik dan perkebunan di Kerinci, Riau. Produksi komersial bubur kertas (pulp) dimulai tahun 1995 yang diikuti produksi kertas secara komersial pada tahun 1998.
Pertumbuhan bisnis pulp & paper yang cepat ikut memberikan kontribusi bagi transformasi ekonomi yang terjadi di Kerinci, Riau. Di mana pada 30 tahun lalu, hanya dihuni 200 kepala keluarga, dengan mata pencarian sebagai nelayan atau terlibat dalam aksi pembalakan liar. Saat itu Kerinci hanya bisa dijangkau melalui kapal karena belum ada akses jalan raya.
Saat ini populasi di Kerinci mencapai 102 ribu kepala keluarga. Dengan 11 ribu kilometer akses jalan dan landasanan pesawat kecil serta dua pelabuhan yang juga dimanfaatkan untuk mengangut hasil dari pabrik pulp & paper serta kelapa sawit dari Kerinci, ke pasar internasional.
“Industri pulp & paper global diperkirakan mencapai USD1 triliun sedangkan bisnis kelapa sawit bernilai USD400-USD500 miliar per tahun,” kata Sukanto Tanoto. “Tantangannya adalah membangun bisnis ini dalam skala besar.”
Krisis Keuangan Asia
Pada tahun 1997, krisis keuangan di Asia turut menghantam kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ekonomi Indonesia terguncang. Nilai tukar rupiah terdevaluasi tajam dan harga barang meningkat tajam. Bapak Presiden mundur dari jabatannya. Lembaga pemeringkat seperti Moody’s menurunkan peringkat utang Indonesia ke status “junk bond”.
Krisis ini juga membuat bisnis Sukanto Tanoto berada dalam tekanan besar. Periode tersebut merupakan tantangan berat dan bagi Sukanto Tanoto, hal tersebut membuatnya justru semakin kuat dan bijak. Krisis telah membuatnya belajar banyak hal, di antaranya adalah kemampuan untuk menjadi tangguh serta melakukan diversifikasi bisnis yang tersebar di beberapa kawasan dan sektor.
Menjadi Global & Diversifikasi Bisnis
Setelah merestrukturisasi bisnis dan melakukan konsolidasi operasional untuk menempatkan bisnis pada jalur yang lebih berkelanjutan, pada tahun 2000 Sukanto Tanoto yang tidak kenal lelah membimbing usahanya dengan membangun dasar di China yang merupakan pasar terbesar di dunia.
Dia melihat peluang di bidang visoce rayon -serat dari alam yang lembut dan halus dan ramah di kulit—Sukanto Tanoto mendirikan pabrik rayon pertamanya di China di provinsi Jiangxi. Langkah ini kemudian diikuti dengan akusisi perkebunan eucalyptus plantations dan pabrik khusus pulp di Brasil.
“Anda harus bisa melihat kemana pasar yang harus dituju,” jelas Sukanto Tanoto. “Saya selalu percaya tidak ada bisnis yang tenggelam. Semua hanya ada dalam pikiran, karena jika anda menyerah maka anda mati.”
Pada pertengahan tahun 2000, Sukanto Tanoto menyaksikan pertumbuhan industri yang pesat di China. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat menciptakan permintaan sumber energi bersih, inilah saat Sukanto Tanoto memperluas bisnisnya ke sektor minyak dan gas. Dia membangun proyek kilang di China serta proyek kilang LNG yang sedang berjalan di British Columbia, Kanada.
“Sekarang, saya punya mimpi membangun kilang LNG di Kanada dan menjadi perusahaan pertama yang mengekspor LNG dari Kanada. Kapan lagi dalam hidup, anda memiliki peluang dengan perusahaan seperti Shell, Chevron, BP?” tanya Sukanto Tanoto yang kembali mengenang masa mudanya di mana dirinya mengawali bisnis melalui industri minyak dan gas.
Menjadi Nahkoda Perusahaan Global yang Berkelanjutan
Kini, Sukanto Tanoto merupakan pendiri sekaligus chairman dari RGE (Royal Golden Eagle), perusahaan yang didirikannya pada tahun 1973 yang dulu dikenal dengan nama Raja Garuda Mas. Dia akan membimbing dan mengarahkan bisnisnya menjadi perusahaan yang dikenal di dunia, dengan pengelolaan yang baik dan mendatangkan profit yang baik.
Saat ini aset kelompok usaha RGE sudah mencapai US $20 miliar. Dengan tenaga kerja lebih dari 60 ribu, RGE memiliki operasi di Indonesia, Tiongkok, Kanada dan Brasil. Perusahaan juga akan terus mengembangkan bisnisnya ke pasar-pasar lain di dunia.
Visi yang dimiliki Sukanto Tanoto tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan yang memiliki prinsip menjadi perusahaan yang bertanggung jawab bagi masyarakat. Seluruh unit bisnis RGE memegang filosofi bisnis yang dicetuskan oleh Sukanto Tanoto. “Bisnis filosofi kami adalah lima C. Kami menjalankan bisnis yang Good for the Community, Good for the Customer, Good for the Country, Good for the Climate, and only then will it be Good for the Company.”
Faktanya, meskipun bisnis RGE tersebar di banyak negara dan mengelola sektor yang berbeda, seluruh unit bisnis harus tunjuk dan patuh pada Sustainability Framework yang berkomitmen pada:
(a) Proaktif dalam menduduk penduduk lokal
(b) Menghargai hak penduduk asli dan komunitas setempat
(c) Perilaku bertangung jawab di tempat kerja
(d) Konservasi sebagai bagian dari model hutan berkelanjutan
(e) Menolak deforestasi
(f) Mengurangi jejak karbon secara berkelanjutan
(g) Pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab
(h) Sumber yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pulp & woodchips
Melakukan Kebaikan untuk Masyarakat
Setelah mencapai kesuksesan, Sukanto Tanoto tidak melupakan akarnya.
Pada tahun 1981, Sukanto Tanoto bersama dengan istrinya Tinah Bingei Tanoto mendirikan sebuah taman kanak-kanak dan sekolah dasar di daerah terpencil di Besitang, Sumatera Utara.
Apa yang dilakukan saat itu menjadi sebuah kesatuan program yang secara menyeluruh menjadi program sosial. Sekolah yang didirikan menyediakan pendidikan bagi anak-anak juga menjadi tempat bagi orang tua mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitas hidup. Selain itu juga bermanfaat bagi masyarakat umum untuk mempelajari kemampuan dasar untuk meningkatkan kehidupan masyakarat.
Inilah awal mula lahirnya Tanoto Foundation.
Kini, Tanoto Foundation, yang dibentuk mengurangi kemiskinan melalui pendiridikan, pemberdayaan dan pengingkatan kualitas hidup telah menyalurkan 6.300 beasiswa, bekerja sama dengan 466 sekolah dan 35 universitas, mendanai 303 penelitian, melatih 4.400 guru dan 5.600 petani, menciptakan 3.200 lapangan pekerjaan bagi 12.000 pelajar serta memperbaiki kehidupan 58.000 masyarakat desa.
Menatap Masa Depan
Saat ini keempat anak Sukanto Tanoto terlibat dalam bisnis RGE dan keempatnya juga merupakan Dewan Penasehat di Tanoto Foundation.
Mengenang masa mudanya, Sukanto Tanoto berkata “Saya memulainya dari nol, dari dasar. Saya tidak pernah berpikir suatu hari akan memiliki bisnis dengan skala global tapi saya mimpikan untuk menjadi lebih besar dan lebih baik.”
Meski sudah berjalan selama lima puluh tahun, naluri kewirausahaan Sukanto Tanoto masih melekat. Kini dia fokus pada keberlanjutan jangka panjang dari bisnis yang sudah di bangunnya. Memandunya bisnisnya untuk berada di sektor dengan nilai tambah seperti produk viscose rayon.
“Saya ingin keberlanjutan. masih banyak yang harus dilakukan dan saya tidak bisa melakukan semuanya. Tugas utama saya adalah memastikan keberlanjutan perusahaan dan juga kebaikan untuk negara,” katanya
20 Replies to “Perjalanan Kewirausahaan”
Comments are closed.